Jumat, 25 Maret 2011

Syukur Di saat Tersungkur


Menatap Masa Depan Setiap kita pasti pernah mengalami kesenangan, kebahagiaan, atau kegembiraan. Dan saat itulah kita dengan mudah mengucap syukur kepada Sang Pemberi Nikmat (Tuhan). Yah walaupun tidak dipungkiri tidak sedikit dari kita justru melupakan hal ini, karena mungkin terlalu asyik tenggelam dalam kenikmatan yang dikecap.
Tetapi saat hidup berubah misalnya 180 derajat. Yang tadinya kaya menjadi miskin, yang tadinya dihormati karena jabatannya sekarang dianggap biasa saja, yang tadinya bangsawan saat ini menjadi rakyat jelata, mudahkah rasa syukur terlontar dari mulut dan hati kita?
Yah tidak bisa dipungkiri sangat berat memiliki sikap hidup “nerimo” saat semua menjadi serba sulit. Saat semua orang seakan meninggalkan kita, bahkan saat Tuhan pun seakan enggan bersama kita (padahal tidak sama sekali-pen).

Padahal kalau kita mau merenung, kenapa Tuhan menciptakan miskin, padahal kaya begitu menyenangkan, kenapa Tuhan memberikan kesedihan, padahal kegembiraan itu penuh nikmat, justru itu wujud cinta Tuhan kepada kita. Kita diminta membandingkan, bagaimana rasanya miskin, bagaimana rasanya sedih, bagaimana rasanya dianggap biasa. Agar jika suatu saat kita kembali kaya, kembali bergembira, dan kembali menjadi terhormat, kita menjadi individu baru yang akan lebih menghargai nikmat, tidak merendahkan orang lain, dan lebih tulus dalam menjalani sesuatu.
Seberat apapun rasa syukur saat kita “di bawah”, hal tersebut seharusnya tetap kita lakukan. Bukan untuk siapa-siapa, bahkan bukan untuk Tuhan sekalipun (karena Tuhan tidak butuh rasa syukur kita), tetapi justru untuk kita sendiri.
NB: Sembah sujud dan syukur untuk Mu Ya Rabb, atas cinta tulus yang selalu Engkau berikan kepada hamba. Terima kasih karena tidak pernah meninggalkan hamba pada kondisi apapun…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog