Minggu, 03 April 2011

Kejayaan Sepakbola Indonesia Legendaris yang Ditakuti Asia

Kebesaran sejarah sepak
bola Indonesia, tak bisa
melupakan era akhir 1960-
an sampai akhir 1970-an.
Saat itu Indonesia menjadi
kiblat Asia. Dan, salah satu tokoh kebesaran itu
adalah Iswadi Idris.
Iswadi yang merupakan
legendaris sepak bola
nasional dan menjadi
pemain nasional pertama merumput di luar negeri
bersama salah satu klub
sepak bola Australia,
pernah menjadi ikon
Timnas Indonesia era
60-70-an. Pemain yang dijuluki Boncel karena
pendek (tinggi 165 cm) ini,
termasuk pemain paling
berbakat yang dimiliki
Indonesia. Karena
kehebatannya pula, dia termasuk pemain yang
ditakuti Asia. Meski
pendek, Iswadi pemain
ulet dan cerdas. Dia juga
serbabisa. Mengawali
karier sebagai bek kanan, tapi dia juga sering
dipasang sebagai
gelandang kanan. Bahkan
di akhir kariernya di
timnas tahun 1980, dia
malah diplot sebagai sweeper. Hebatnya, dia bisa menjalani
semua posisi itu dengan baik.
Bersama Sutjipto Suntoro,
Jacob Sihasale dan Abdul
Kadir, dia punya popularitas
besar di Asia. Itu semua berkat permainan mereka
yang memang luar biasa.
Bahkan, empat sekawan ini
dinilai sebagai penyerang
tercepat. Di masa itu, sepakbola
Indonesia sangat dihormati
Asia. Bahkan, bersama Burma
(sekarang Myanmar, Red),
Indonesia merupakan
kekuatan utama. Apalagi, timnas Indonesia saat itu
sudah biasa bertemu tim-tim
besar seperti PSV Eindhoven,
Santos, Fiorentina, Uruguay,
Sao Paulo, Bulgaria, Jerman,
Uni Soviet dan masih banyak lagi. “Jepang, Korea Selatan dan tim Timur Tengah belum
punya cerita. Kekuatan besar
dimiliki Indonesia dan Burma,” jelas Iswadi dalam
wawancara dengan
Kompas.com di PSSI tahun
lalu. Tentang berbagai posisi
yang dia jalani, Iswadi
mengaku bisa menikmatinya. “Posisi yang sering saya perankan adalah sayap kanan.
Saya suka menusuk ke
gawang lawan. Entah sudah
berapa gol yang saya
ciptakan, yang jelas lebih dari
100 kalau dijumlah dari awal sampai akhir karier, ” jelas Iswadi Idris yang juga
pengurus PSSI itu. Bakat yang dimiliki Iswadi
memang istimewa. Dia tak
hanya punya kecepatan lari,
tapi juga teknik sepakbola
yang baik. Selain itu, visi
permainan Iswadi juga luas, ditopang kemampuannya
memimpin rekan-rekannya.
Wajar jika dia segera
dijadikan kapten timnas sejak
awal 1970-an sampai 1980. Menjadi pemain sepakbola
yang lama membela timnas
dan dikenal luas sampai
seantero Asia, sebenarnya tak
pernah dipikirkan Iswadi.
Awalnya dia malah menyukai atletik, karena punya
kecepatan lari. Baru pada 1961,
dia membaca temannya
memperkuat Persija Junior di
koran Pedoman Sport. Iswadi
yang sejak umur 4 tahun tinggal di Kramat Lima,
Jakarta Pusat, kemudian
tertarik bermain bola.
Awalnya bergabung dengan
Merdeka Boys Football
Association (MBFA), kemudian ke Indonesia Muda
(IM). “Kebetulan rumah saya dekat Taman Ismail Marzuki
(TIM). Dulu masih berupa
kebon binatang. IM berlatih di
Lapangan Anjing, tempat
melatih anjing. Akhirnya saya
pindah ke klub itu, ” katanya. Iswadi pun semakin
menikmati sepakbola, bahkan
serius menggelutinya hingga
menjadi salah satu legenda
Indonesia. “Sepakbola hobi yang berharga. Dulu kami
bermain ingin terkenal, juga
demi pengabdian kepada
bangsa. Jadi semangatnya
berlebihan,” terangnya. Selama kariernya sebagai
pemain sepakbola, bukan
sebuah gol indah yang
membuat Iswadi Idris
kepikiran sampai sekarang.
Justru kegagalannya mencetak gol. Itu terjadi
tahun 1972, ketika Indonesia
menjamu Dynamo Moscow
dalam partai uji coba di
Senayan. “Kiper Dynamo adalah penjaga gawang
terbaik abad ini, Lev Yashin.
Saya bertekad
menaklukkannya agar
menjadi kenangan terindah.
Kesempatan ada, tapi tak saya manfaatkan. Itu penyesalan
yang masih terpikir sampai
sekarang,” tutur Iswadi. Waktu itu, dia menerima
umpan terobosan dari
Sutjipto. Dalam keadaan bebas
dengan posisi yang sama, dia
biasanya menendang bola ke
gawang dan hampir selalu gol. “Tapi karena karisma Lev Yashin, saya seperti tak
melihat ada celah untuk
mencetak gol. Saya justru
mengumpankan bola ke Jacob
Sihasale. Dia tak siap, karena
biasanya saya menendang sendiri dan gol. Habis
pertandingan, pelatih Djamiat
Dahlar pun kecewa karena
saya menyia-nyiakan
kesempatan, ” sesalnya lagi. DIISUKAN KENA SUAP Menjadi bintang besar
memang menyenangkan.
Tapi, tak selamanya selalu
penuh puja-puji. Demikian
juga yang dialami Iswadi. Dia
dan rekan-rekannya pernah syok karena diisukan terkena
suap, saat membela Indonesia
di babak Pra Piala Dunia 1978
lawan Singapura. Pada pertandingan di
Singapura, 9 Maret 1977,
Indonesia secara mengejutkan
dikalahkan tuan rumah 0-4.
Padahal Singapura tim kecil
dibanding Indonesia. Sebelumnya, koran-koran
Indonesia dan Singapura
meniupkan isu bahwa Iswadi
dan kawan-kawannya
menerima suap. “Oleh sebuah koran, saya diceriterakan menyelinap
lewat jendela keluar dari hotel
pemain. Katanya saya
mendatangi Karpak, sebuah
nightclub di Singapura, dan
menerima suap. Itu tak pernah terjadi. Saya dan
teman-teman tak pernah
menerima suap. Sueb Rizal
(pemain seangkatannya, Red) tahu persis saya tak ke mana-
mana, karena saya sekamar
dengannya. Saya kira, isu suap
sengaja diembuskan pihak
Singapura agar mental kami
turun dan tim Indonesia kacau,” tuturnya. Kasus itu ternyata berbuntut
panjang. Seminggu kemudian,
Iswadi memperkuat Persija di
Piala Marahalim di Medan.
“Kebetulan, sebagian besar pemain timnas Indonesia
memperkuat Persija. Begitu
kami masuk lapangan,
langsung dlempari benda
keras oleh penonton. Kami
mencoba tabah meski dituduh menerima suap,” jelasnya. Untungnya, Persija tampil
memukau. Setelah
mengalahkan juara bertahan
dua kali (Australia), kemudian
menundukkan Thailand. Para
penonton Medan pun akhirnya kembali
memberikan dukungan
penuh, apalagi PSMS Medan
sudah teringkir. “Di final lawan Jepang, kami seperti membawa nama
Indonesia. Penonton memberi
dukungan penuh dan kami
menang 1-0. Itu pengalaman
yang menyenangkan,
sekaligus sangat memuaskan. Kami bisa menunjukkan
sebagai pemain yang disiplin,
meski dihantam isu suap, ” ceritanya. Iswadi sendiri tampil
memukau di Piala Marahalim.
Tapi, itu hanya salah satu
pembuktian atas
kehebatannya. Selama 12
tahun kariernya di timnas (1968-1980), dia ikut membuat
sepakbola Indonesia disegani
di Asia. Sebutannya boleh
Boncel, tapi prestasinya
mengangkasa. Karier Sebagai Pemain Bersama dengan Sutjipto Soentoro, Abdul Kadir , dan Jacob Sihasale, dikenal dengan sebutan “kuartet tercepat di Asia” berkat kecepatan dan kelincahan mereka yang luar
biasa. Iswadi juga terkenal
sebagai pemain yang memiliki
visi yang luas, disiplin, keras,
dan berkarakter, baik di
dalam maupun luar lapangan. Karena sosoknya tersebut, ia
terpilih menjadi kapten
timnas sejak awal 1970 sampai
1980. Tak hanya piawai di
posisi gelandang, sejumlah
posisi lainnya pun sempat ia lakoni selama membela
timnas, mulai dari bek kanan
hingga sweeper. Ia pun
menjadi pelopor pemain serba
bisa yang andal dalam
berganti-ganti posisi sebelum diteruskan oleh Ronny Pattinasarani. Berkat kepiawaiannya tersebut Bang
Is berhasil menjadi pemain
Indonesia pertama yang
dikontrak oleh klub asing
yaitu Western Suburbs, Australia di tahun 1974-1975. Sebagai Pelatih Karier lainnya adalah sebagai
pelatih. Ia pernah melatih tim Perkesa Mataram atau Mataram Putra, juga timnas nasional pra-Olimpiade 1988 bersama dengan M. Basri dan Abdul Kadir yang dikenal dengan sebutan “trio Basiska ”. Sebagai Pengurus PSSI Tahun 1994, Bang Is masuk ke
dalam jajaran pengurus PSSI. Sejumlah jabatan pernah
dipercayakan kepadanya
mulai dari Direktur Kompetisi
dan Turnamen PSSI, anggota
Komisi Disiplin PSSI hingga
Direktur Teknik PSSI. Terakhir ia menjabat sebagai Manajer
Teknik Badan Tim Nasional
serta tim monitoring bersama Risdianto dan Ronny Pattinasarani. Berpulang Iswadi Idris terakhir
berdomisili di Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta . Ia meninggal dunia di Jakarta,
Jumat (11/7/2008) malam,
sekitar pukul 20.00 WIB,
akibat terserang stroke dan dimakamkan di TPU Karet Bivak , Jakarta. Suasana haru meliputi rumah
duka Iswadi Idris di
Perumahan Buncit Indah, Jl
Mimosa II Blok S Nomor 15,
Jakarta Selatan. Bintang
sepakbola Indonesia era 1960 dan 1970-an itu, harus
berpulang, karena sakit
stroke, pada Jumat (11/7)
malam. Almarhum yang lahir
di Banda Aceh, 18 Maret 1948
meninggalkan seorang istri Rahma Tuti serta tiga orang
anak, Kusuma Ayu Kinanti,
Tubagus Dani Putranto, dan
Adinda Snitaningrum Kinasih.
Berbagai kalangan insan sepak
bola tampak memenuhi rumah duka. Beberapa di
antaranya Rony Pattinasarany
dan Danurwindo. Menurut
Ronny yang pernah
menggantikan Iswadi Idris
sebagai kapten timnas Indonesia, “Bang Is adalah sosok pekerja keras, kadang-
kadang temperamen, namun
banyak memberikan
wejangan ke kita-kita. ” Sementara pelatih Persija,
Danurwindo menambahkan,
“Pak Is orang yang mempunyai pendirian yang
kuat dan berkarakter. ” Saat ini jenazah sedang
disembahyangkan di Masjid Al
Ikhlas yang berada tidak jauh
dari rumah duka. Baru pukul
13.00 jenazah akan
diberangkatkan ke TPU Karet Bivak. Di sana Noegroho
Besoes akan memimpin
upacara pemakaman Dunia sepak bola nasional
kembali kehilangan salah satu
putra terbaiknya. Iswadi Idris
mengembuskan nafas
terakhirnya, Jumat (11/7),
pukul 20.15 Wib di Rumah Sakit MMC Kuningan, Jakarta
Selatan setelah mengidap
penyakit stroke yang
dideritanya beberapa bulan
terakhir ini. Gelandang serang terbaik
yang pernah dimiliki Timnas
Indonesia itu meninggal dalam
usia 60 tahun. Almarhum
yang lahir di Banda Aceh, 18
Maret 1948 meninggalkan seorang istri Rahma Tuti serta
tiga orang anak: Kusuma Ayu
Kinanti (25), Tubagus Dani
Putranto (23), dan Adinda
Snitaningrum Kinasih (21).
Ayu dan Tubagus telah menyelesaikan kuliahnya,
sedangkan Adinda duduk di
bangku kuliah Fakultas
Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. Salah seorang putri Iswadi
Idris, Adinda, menuturkan
sebelum dirawat di RS MMC
Kuningan, ayahnya sempat
dilarikan ke RS Jakarta
Medical Center, Buncit, Selasa (8/7) malam. Sejak terjatuh di
kediamannya di Perumahan
Buncit Indah, Jalan Mimosa II
Blok F/15, Iswadi tidak
pernah lagi sadarkan diri
hingga ajal menjemputnya. Saat mengembuskan nafas
terakhir, Iswadi didampingi
istri dan ketiga anaknya serta
keluarga dekat. Sebelum
meninggal, sejumlah tokoh
dan rekan Iswadi seperti mantan Ketua KONI Agum
Gumelar, Djohar Arifin Husein,
Dony Patty dan para mantan
pemain sepak bola nasional
sempat membesuk almarhum
di RS MMC Kuningan. Menurut Adinda, almarhum
akan dibawa ke rumah duka,
namun hingga malam ini
belum bisa memastikan di
mana ayahnya akan
dimakamkan. Manajer Pelita Jaya, Rahim
Soekasah yang pernah
bersama almarhum Iswadi
Idris duduk di kepengurusan
PSSI mengatakan sepak bola
Indonesia sangat kehilangan sosok yang mencintai sepak
bola. “Iswadi memiliki dedikasi yang tinggi dalam
memajukan sepak bola di
tanah air, hal ini dibuktikan
Iswadi yang selalu memantau
pemain muda di daerah-
daerah agar kelak bisa menjadi pemain nasiona yang
andal,” ungkapnya dihubungi melalui telepon selulernya.
Iswadi, diakui Rahim, selalu
ngotot agar dikirim PSSI
menyaksikan setiap
pertandingan Liga Indonesia di
daerah hanya untuk melihat apakah ada pemain muda
berbakat. “Mungkin karena ia dipercaya oleh pengurus PSSI
menjadi tim pemantau pemain
muda, makanya ia selalu
ngotot pergi ke daerah, hal ini
dia lakukan hanya ingin
melihat tim nasional masa depan Indonesia bisa kembali
berjaya, ” katanya. Rahim mengaku sempat membesuk
Iswadi saat masih dirawat di
RS MMC. “Dokter memang sebelumnya sudah
menyakinkan bahwa
penyakit Iswadi tidak bisa
ditolong lagi, karena
pendarahan di kepala yang
sudah menjalar,” jelasnya

1 komentar:

Arsip Blog